Selasa, 02 April 2013

Terapi Humanistik Eksistensial

Terapi Humanistik Eksistensial

Psikologi Eksistensial atau sekarang berkembang dengan nama psikologi Humanistik atau psikologi holistic berawal dari kajian filsafat yang diawali dari Sorean Kierkigard tentang eksistensi manusia. Sebelum psikologi modern membuka dirinya pada pemikiran (school of thought) berbasis emosi dan spiritual yang transenden, psikologi terlebih dahulu dipengaruhi oleh ide-ide humanistik. Psikologi humanistik berpusat pada diri, holistik, terobsesi pada aktualisasi diri, serta mengajarkan optimisme mengenai kekuatan manusia untuk mengubah diri mereka sendiri dan masyarakat. Terdapat gerakkan eksistensialisme pada abad 19 yang dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Søren Kierkegaard. Dalil utama dari eksistensialisme adalah keberadaan (existence) individual manusia yang dialami secara subjektif
Istilah eksistensi berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebagaimana memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Manusia tidak dapat dipisahkan sebagai manusia individu yang hidup sendiri tetapi merupakan satu kesatuan dengan lingkungan dan habitatnya secara keseluruhan. Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan (co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia.
Psikologi eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi.
Asal Muasal Psikologi Eksistensial dalam Psikologi
Tokoh psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger (1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak konsep tentang kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan orang dari lingkungannya.
Ludwig Binswager lahir pada tanggal 13 april 1881, di Kreuzlingen, Swiss di tengah keluarga yang memiliki tradisi kedokteran dan psikiatrik kuat. Kakeknya, yang namanya kecilnya juga Ludwig adalah pendiri Belleuve Sanatorium di Kruezlingen pada tahun 1857. ayahnya Robert adalah direktur Sanatorium tersebut. Pada tahun 1911, Binswanger diangkat menjadi direktur medis Belleuve sanatorium.
Ludwig meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Zurich tahun1907. Dia belajar dibawah bimbingan Carl Jung dan menjadi asistennya dalam Freudian society. Seperti halnya Jung, dia juga lebih terpengaruh Eugen Bleuleur, seorang psikiatri Swiss terkemuka. Dia adalah salah seorang pengikut pertama Freud di Swiss. Pada awal 1920-an, Binswanger menjadi salah pelopor pertama dalam menerapkan fenomenologi dalam psikiatri. Sepuluh tahun kemudian dia menjadi seorang analisis eksistensial. Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang actual. Tujuannya adalah rekonstruksi dunia pengalaman batin.
Binswanger adalah terapis pertama yang menekankan sifat dasar eksistensial dari tipe krisis yang dialami pasien dalam pengalaman terapi. Binswanger pada dasarnya berjuang untuk menemukan arti dalam penyakit gila dengan mnerjemahkan pengalaman para pasien kedalam teori psikoanalisis. Setelah membaca pendekatan filsafat Heidegger “Being in time” (1962), Binswanger menjadi lebih eksistensial dan fenomenologis dalam pendekatannya kepada para pasien. Pada tahun 1956, Binswanger berhenti menjadi direktur Sanatorium setelah menduduki posisi tersebut selama 45 tahun. Dia terus melakukan studi dan menulis sampai meninggal pada tahun 1966.
Sedangkan Medard Boss lahir di St. Gallen, Swiss pada tanggal 4 oktober 1903. kemudian menghabiskan masa mudanya di Zurich pusat aktivitas psikologi saat itu. Dia menerima gelar kedokteran university of Zurich pada tahun 1928. kemudian melanjutkan studi ke Paris dan Wina serta membiarkan dirinya dianalisis oleh S.Freud. Mulai tahun 1928, dia bergabung dengan Carl Jung yang menunjukkan pada Boss kemungkinan lepasnya psikoloanalisis dari interpretasi Freudian.
Dalam masa-masa itu, Boss membaca karya-karya Ludwig Binswanger dan Martin Heidegger. Pertemuannya dengan Heidegger pada tahun 1964 yang kemudian berlanjut dengan persahabatannyalah yang membawanya kepada psikologi eksistensial. Pengaruh dalam eksistensial sangat besar sehingga sering disejajarkan dengan Binswanger.
Konsep dasar filsafat eksistensialistik sebagai kelompok ketiga menurut Blocher adalah kerinduan manusia untuk mencari sesuatu yang penting, sesuatu yang bermakna dalam dirinya. Sesuatu yang paling bermakna di dalam diri seseorang adalah eksistensi dirinya. Perhatian yang lebih besar terhadap pribadi, terhadap manusia daripada terhadap system yang formal. Konsep identitas menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia. Mengenai ini, Beck (1963) menyusun beberapa paham dasar sebagai konsep dasar falsafahnya yang diambil sebagian besar dari filsafat eksistensialisme, sebagai berikut:
  • Setiap pribadi bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannnya sendiri. 
  • Orang harus menganggap orang lain sebagai obyek dari nilai-nilai sebagai bagian dari perhatiannya. 
  • Manusia berada dalam dunia realitas. 
  • Kehidupan yang bermakna harus terhindar sejauh mungkin dari ancaman, baik fisik maupun psikis. 
  • Setiap orang memiliki latar belakang keturunannya sendiri dan memperoleh pengalaman-pengalaman unik. 
  • Orang bertindak atas dasar pandangan terhadap realitasnya sendiri yang subyektif, tidak karena realitas yang obyektif di luar dirinya. 
  • Manusia tidak bisa digolongkan sebagai baik atau jahat dari asalnya (by nature). 
  • Manusia berreaksi sebagai kesatuan organisasi terhadap setiap situasi (Gunarsa, 1996:9-13).
Prinsip Eksitensi dalam Psikologi
Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat dari perangsangan dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Lalu apakah pengaruh eksistensialisme terhadap psikologi? Psikologi eksistensial ini menjabarkan psikologi yang dilandaskan pada fakta primordial dari dunia pribadi yang bermakna yang menjadi sasaran dari segenap aktivitas. Salah satu dalil dasar yang mendasari psikologi eksistensial adalah setiap manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam mempersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam bereaksi terhadap dunia. Perhatiannya adalah pada kesadaran, perasaan-perasaan, suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan di antara sesamanya. Intinya dari perspektif ini adalah melihat manusia secara keseluruhan sebagai subjek.
Sebagaimana tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan sebab akibat dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian urutan tingkah laku tetapi tidak bisa menurunkan kausalitas dari rangkaian tersebut. Sesuatu yang terjadi pada seorang anak-anak bukan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai seorang dewasa. Peristiwa yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang sama akan tetapi tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Untuk menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan jendela yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela tertutup, tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu bahwa jika jendela terbuka maka air hujan akan masuk. Karena prinsip kausalitas kurang relevan dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya motivasi dan pemahaman merupakan prinsip-prinsip operatif dalam analisis eksistensial tingkah laku. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Struktur Eksistensi
Ada-di-Dunia (Dasein)
Merupakan dasar fundamental dalam psikologi eksistensial. Seluruh struktur eksistensi manusia didasarkan pada konsep ini. Ada-di-dunia (Dasein) adalah keseluruhan eksistensi manusia, bukan merupakan milik atau sifat seseorang. Sifat dasar dari Dasein adalah keterbukaannya dalam menerima dan memberikan respon terhadap apa yang ada dalam kehadirannya. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Dunia dimana manusia memiliki eksistensi meliputi 3 wilayah, yaitu:
Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.
Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)
Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia.
Ada-melampaui-Dunia (kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
Analisis eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia. Akan tetapi, Binswanger tidak mengartikan ada-melampaui-dunia sebagai dunia lain melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia untuk mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. Istilah melampaui/mengatasi dunianya dikenal juga dengan transendensi yang merupakan karakteristik khas dari eksistensi manusia serta merupakan landasan bagi kebebasan manusia.
Karena hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia dapat menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau membatasi kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-oarang lain atau oleh lingkungannya, maka manusia itu hidup dalam suatu eksistensi yang tidak otentik. Manusia bebas memilih salah satu dari keduanya.
Kekurangan dan kelebihan terapi
Salah satu konsep eksistensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi “ilmiah” ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa yang diinginkannya. Jika benar, maka konsep ini sudah pasti meruntuhkan validitas psikologi yang berpangkal pada konsepsi tentang tingkah laku yang sangat deterministic. Karena jika manusia benar-benar bebas menentukan eksistensinya, maka seluruh prediksi dan control akan menjadi mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat terbatas. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993) . Humanistik eksistensial membuat seseorang merefleksikan hidupnya sehingga orang tersebut mengenali banyaknya pilihan dan dapat menentukan pilihannya sendiri sehingga seseorang akan bertanggung jawab untuk tiap pilihan dan tindakan mereka. 

Sumber :
-      Abidin, Zaenal. 2007. Analisis Eksistensial. Jakarta: PT Raja Grafindo.
-      Corey, Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
-      Poduska, Bernard. 2000. 4 Teori Kepribadian. Jakarta: Restu Agung.
-      Sabri, M. Alisuf. 2001. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar